Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti
”Sura diro jayaningrat lebur dening pangastuti,”
Saya tersenyum ketika membaca kalimat itu menjadi status BBM seorang
teman. ”Pasti ada masalah dengan orang yang lebih kuat dan kuasa dari
dirinya,” batin saya.
Bagi orang Jawa, khususnya Jawa Tengah, DIY dan sekitarnya, kalimat
itu memang tidak asing. Mungkin kalimat itu menjadi satu dari sedikit
budaya Jawa yang tak lekang digempur budaya barat. Dari orang tua hingga
anak-anak muda dengan segala tingkat pendidikan, kalimat itu begitu
sering diucapkan. Status Facebook, BBM sering sekali kalimat itu digunakan.
Arti kalimat itu pastilah sebagian besar tahu. Bahwa angkara murka
atau kejahatan sebesar apapun akan kalah atau hancur jika dihadapi
dengan kelembutan dan kasih sayang. Kurang lebih seperti itu. Cuma
seringnya kalimat itu muncul ketika seseorang merasa dalam kondisi tak
berdaya. Dia sedang bermasalah dengan orang yang berkuasa atau kuat
sehingga tak mampu melawan. Akhirnya pilih diam dan menyerah dan
berharap tuah suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti akan berlaku padanya.
Sebenarnya asal usul kalimat itu dari mana to? Siapa yang pertama
kali menggunakan dan kenapa dia sampai menciptakan rangkaian kata yang
spektakuler tersebut.
Saya mencoba menelisik dan ujung-ujungnya ketemu lagi dengan yang
namanya Ronggowarsito. Seorang pujangga kondang Kraton Solo yang hidup
pada 1802-1873.
Ini orang memang luar biasa. Setiap bicara soal Jawa selalu namanya
muncul. Bahkan saya pernah melihat sebuah film dokumenter yang berjudul Hari-hari Terakhir Krakatao
ada bagian yang menunjukkan betapa ahli Gunung Belanda tersadar dia
melakukan kesalahan dalam menganalisa Krakatao setelah membaca Kitab
Pustaka Raja Purwa karya Ronggowarsito. (Di lain kesempatan saya tulis
soal ini).
Nah, Ronggowarsito-lah yang pertama kali memunculkan kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti tersebut.
Kalimat itu sebenarnya bagian dari sebuah tembang Kinanthi yang
diciptakannya. Tembang itu sendiri termuat dalam Serat Ajipamasa atau
Serat Witaradya atau Serat Pustaka Raja Wedha yang ditulis
Ronggowarsito. Banyak nama tetapi sebenarnya itu satu buku. Buku itu
berkisah tentang Raja Ajipamasa atau Kusumawicitra yang berkuasa di
Kraton Pengging. Baca: Candrageni Nama Asli Merapi, Siapa Yang mengubahnya? http://jejaktapak.wordpress.com/2014/03/12/candrageni-nama-asli-merapi-siapa-yang-mengubahnya/
Tembang Kinanthi tersebut berbunyi seperti berikut:
Jagra angkara winangun
Sudira marjayeng westhi
Puwara kasub kawasa
Sastraning jro Wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti
Ada juga yang menulis di baris keempat dengan “Wasita jro wedha muni”. Dua kalimat itu tidak memiliki makna yang berbeda.
Makna dari tembang itu kurang lebih menggambarkan seseorang yang
memiliki kekuasaan besar yang mengakibatkan dia lupa diri. Dia mencoba
memaksakan kehendak kepada siapapun. Namun keangkaramurkaannya itu bisa
luntur ketika dihadapi dengan penuh kelembutan, senyum dan kata-kata
yang sopan.
Lalu kenapa Ronggowarsito membuat tembang dengan syair seperti itu? Pasti ada latar belakangnya. Apa itu?
Syair itu muncul untuk menggambarkan sebuah kejadian yang dialami
oleh Pangeran Citrasoma, putra mahkota Prabu Ajipamasa. Sebagai calon
pengganti raja tentu dia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang hampir
tidak terbatas. Mungkin hanya ayahnya yang masih bisa membatasi
kekuasaan itu. Yang lain, tidak boleh melawan.
Hingga suatu hari, Citrasoma yang sudah mulai dewasa jatuh cinta
kepada seorang wanita cantik jelita. Sayangnya, wanita itu telah
memiliki suami yakni Tumenggung Suralathi.
Tetapi yang namanya anak raja, tak peduli dengan hal itu. Dia tetap
mencoba merebut Nyai Pamekas, nama wanita itu dari suaminya. Bahkan
mencari-cari kesempatan untuk mendekati untuk melakukan tindakan tidak
senonoh.
Hingga suatu malam, saat Tumenggung Suralathi tidak di rumah,
Citrasoma pun menyelinap ke rumah Nyai Pamekas. Tentu saja wanita itu
kaget dan ketakutan. Apalagi Citrasoma dengan tegas mengatakan
keinginannya untuk bercinta dengan dirinya.
Nyai Pamekas tahu siapa yang dihadapi. Seorang pemuda yang sedang
dilanda nafsu serta memiliki kekuasaan besar. Maka dia berupaya dengan
sekuat tenaga untuk menyadarkan Citrasoma dari niatnya yang salah itu.
Semua penolakan disampaikan Pamekas dengan kalimat lembut. Tidak
mencak-mencak apalagi memaki. Karena sekali lagi orang yang dihadapi
adalah orang kuat. Nyai Pamekas mencoba mengingatkan bahwa tindakan
Citrasoma tidak benar. Apalagi dia adalah calon raja yang harus memberi
contoh baik kepada rakyatnya. Semua kalimat disampaikan dengan lembut
dan wajah yang selalu senyum.
Tapi dasar Citrasoma, tetap tak peduli dengan semua itu. Dia tetap
memaksakan kehendaknya. Nyai Pamekas pun memutar otak hingga akhirnya
menemukan satu cara. Dia mengatakan sanggup melayani Citrasoma dengan
jaminan tidak ada satupun yang tahu. Karena kalau sampai ada yang tahu,
maka Nyai Pamekas menyayangkan nama baik Citrasoma, anak raja dan calon
raja. ”Semua orang di Katemenggungan ini harus dibuat tidur agar tidak
ada yang tahu,” kurang lebih seperti itu kata Nyai Pamekas.
Citrasoma pun menyanggupi. Sebagai calon raja pastilah dia sudah
dibekali dengan ilmu kadigdayan yang tidak main-main. Maka dia matek aji
sirep hingga membuat semua orang di tempat itu tertidur pulas.
”Sudah Nyai. Syaratmu sudah aku penuhi. Mari penuhi permintaanku,”
kata Citrasoma (Lagi-lagi ini kurang lebih karena tidak ada dialog di
buku Ronggowarsito).
Nyai Pamekas lagi-lagi tersenyum sebelum kemudian berkata ”Belum semua tidur Pangeran,” katanya lembut.
Citrasoma pun keheranan. Dia yakin semua orang yang kena ilmu
sirepnya pasti kelenger tak berdaya. ”Siapa yang begitu sakti bisa
menahan ilmuku,” batinnya
”Siapa yang belum tidur Nyai? Tidak mungkin ada yang bisa menahan
ilmuku,” sesorah Citrasoma. Lagi-lagi Nyai Pamekas tersenyum sebelum
berujar ”Saya belum tidur, Pangeran juga belum tidur.”
”Ya tidak mungkin lah nyai, gimana mau melakukan jika aku dan kamu
tidur,” sergah Citrasoma. ”Jangan mengada-ada dan cari-cari alasan lah
Nyai,” tambahnya.
Nyai Pamekas tetap saja tenang. ”Kecuali saya dan pangeran juga masih ada yang belum tidur,” ujarnya
”Siapa?” tanya Citrasoma
”Gusti kang Maha Kuasa,” ucap Pamekas yang seketika membuat Citrasoma
terdiam. Kalimat singkat itu seperti palu godam yang memukul kepalanya
dan mengembalikan kesadarannya yang hilang ditelan nafsu. Seketika dia
sadar dan malu dengan kesalahan yang dia lakukan. Akhirnya dia pun
mengurungkan niatnya dan selamatlah dia dari tindakan tercela. Sementara
Nyai Pemekas dengan kelembutannya berhasil mengalahkan nafsu jahat
orang yang memiliki kuasa sekaligus mempertahankan kesuciannya sebagai
seorang istri.
Nah dari situlah Ronggowarsito kemudian menciptakan tembang Kinanthi
yang memuat kata Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti itu.
Mudah-mudahan bermanfaat. Setidaknya kita jadi tahu dan makin mantab
menggunakan kalimat itu sebagai filosofi hidup. Tidak hanya ketika kita
didzolimi orang yang berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar